Agama, Bola, dan Problem Sosial Generasi Z
5 jam lalu
Agama dan bola, keduanya seperti api: bisa menghangatkan rumah, tetapi bisa pula membakarnya hingga musnah.
***
DALAM ceramah dialogis Buya Chavchay Syaifullah pada peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW di 'markas" tarekat Majelis Qutub Rabbani, Kampung Kranggan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Jumat (19/9/2025) tengah malam, mengemuka istilah freethinking atau freethinker dari seorang penanya. Istilah ini menggambarkan sebuah kecenderungan yang kian marak di kalangan generasi Z: percaya pada keberadaan Tuhan, tetapi memilih menjauh dari agama dan aturan formal yang melekat padanya.
Para penganut paham "bukan ateis tapi tak beragama" ini sering menggunakan sebuah analogi sederhana: bila sekelompok orang diberikan sebuah bola, mereka akan bermain bersama dengan gembira, tanpa mempersoalkan asal-usul, warna kulit, atau keyakinan masing-masing. Bola dianggap sebagai pemersatu, sesuatu yang universal, netral, dan menyenangkan. Tetapi, bila kepada sekelompok orang diberikan agama, maka yang muncul justru perpecahan, pertengkaran, bahkan peperangan. Agama, bagi mereka, bukan perekat sosial, melainkan pemicu polarisasi.
Sekilas, perumpamaan ini terasa masuk akal. Kita menyaksikan banyak konflik di dunia yang dilabeli sebagai perang agama: dari Perang Salib di masa lalu hingga konflik Timur Tengah hari ini. Bahkan dalam ruang sosial yang lebih kecil, kita kerap melihat pertengkaran di media sosial soal tafsir agama, saling mengafirkan, saling membid'ahkan, atau perseteruan antarkelompok keagamaan. Tak heran, sebagian orang berkesimpulan bahwa agama adalah sumber perpecahan.
Menyederhanakan Persoalan
Namun, bila kita telaah lebih dalam, analogi “bola sebagai pemersatu, agama sebagai pemecah” sebenarnya menyederhanakan persoalan manusia. Permainan bola sendiri pada kenyataannya tidak selalu melahirkan persaudaraan.
Kita bisa lihat dalam praktiknya: rivalitas antarklub sepak bola kerap melahirkan polarisasi sosial yang tajam, bahkan kekerasan atau aksi hool-ganisme. Tawuran antarsuporter, stadion yang memerah oleh kebencian, dan nyawa melayang akibat fanatisme buta—semuanya terjadi hanya karena “bola".
Dalam kasus ekstrem, pertandingan yang seharusnya menjadi hiburan berubah menjadi tragedi. Dengan kata lain, bola pun dapat menjadi sumber perpecahan, "sebagaimana agama".
Hal ini membawa kita pada teori klasik dalam ilmu sosial tentang konflik. Emile Durkheim, Karl Marx, hingga Georg Simmel menyoroti bahwa masyarakat manusia dibentuk bukan hanya oleh kerjasama, tetapi juga oleh pertentangan.
Kompetisi, persaingan, dan konflik adalah bagian inheren dari kehidupan sosial. Orang bisa berkelahi karena memperebutkan sumber daya, status, atau bahkan sekadar simbol identitas. Dalam konteks itu, bola maupun agama hanyalah “medium” atau “pemicu” yang memperlihatkan potensi konflik laten yang memang sudah ada dalam diri manusia.
Bila bola bisa menimbulkan tawuran, dan agama bisa memicu perpecahan, maka akar masalah sebenarnya bukan pada bolanya atau pada agamanya, melainkan pada manusia itu sendiri: pada fanatisme, pada perebutan identitas, dan pada cara pandang sempit yang menutup ruang dialog.
Dengan kata lain, masalah utamanya bukan “agama sebagai agama,” melainkan bagaimana agama digunakan atau dipahami oleh pemeluknya. Sama halnya dengan bola: masalah bukan terletak pada permainan itu, melainkan pada perilaku penikmatnya yang menjadikan bola sebagai simbol supremasi kelompok.
Ambivalensi Manusia
Sayangnya, kritik freethinker tadi sering terjebak pada simplifikasi. Mereka menganggap agama sebagai entitas homogen yang otomatis memecah, padahal sejarah juga mencatat sisi lain agama sebagai perekat sosial yang sangat kuat. Agama telah menjadi basis solidaritas, membentuk komunitas, mengajarkan etika moral, dan melahirkan gerakan kemanusiaan.
Tanpa agama, mungkin banyak masyarakat tradisional tidak akan punya fondasi etis yang kokoh. Bahkan dalam dunia modern, nilai-nilai keagamaan masih menjadi penggerak filantropi, solidaritas lintas kelas, dan gerakan sosial yang menuntut keadilan.
Analogi bola dan agama, dengan demikian, lebih tepat dipandang sebagai gambaran tentang ambivalensi manusia. Bola bisa menyatukan atau memecah. Agama juga bisa menyatukan atau memecah. Semuanya bergantung pada bagaimana manusia menempatkan keduanya. Seperti api: ia bisa menghangatkan rumah, tetapi bisa pula membakarnya hingga rata dengan tanah.
Maka, alih-alih menuduh agama sebagai sumber pecah-belah, atau mengagungkan bola sebagai simbol pemersatu, lebih bijak bila kita mengakui bahwa manusialah yang selalu punya kecenderungan untuk bersaing, bertarung, dan membelah diri. Sosiologi modern pun menegaskan, konflik bukanlah anomali dalam masyarakat, melainkan bagian dari dinamika sosial yang tak terhindarkan. Persoalan kita adalah bagaimana mengelola konflik itu agar tidak merusak, melainkan bisa menjadi energi untuk perubahan yang lebih baik.
Teladan Nabi Muhammad SAW
Sejarah Islam sendiri memberi teladan jelas. Nabi Muhammad SAW, dengan cahaya risalah Islam-nya, mampu merajut persaudaraan di tengah masyarakat Arab yang sebelumnya tercerai-berai. Suku Aus dan Khazraj di Madinah, yang puluhan tahun terjebak dalam permusuhan, akhirnya bersatu dalam ukhuwah Islamiyah setelah menerima ajaran beliau. Ini membuktikan bahwa agama, bila ditempatkan sebagaimana mestinya, justru dapat menjadi kekuatan besar untuk perdamaian dan persatuan.
Di sinilah letak tantangan: menjadikan agama sebagai sumber inspirasi moral dan solidaritas, bukan sebagai bendera peperangan. Begitu pula dengan bola, bagaimana ia dijadikan sarana kegembiraan dan kebersamaan, bukan sebagai ajang supremasi destruktif.
Pada akhirnya, bola dan agama hanyalah cermin; yang terlihat di dalamnya adalah wajah manusia itu sendiri. Bola dan agama sama-sama bisa menyatukan atau memecah. "Yang menentukan bukan bolanya, bukan agamanya, melainkan hati manusia yang memakainya," begitu jawaban ringkas dari Buya Chavchay, pendakwah yang juga budayawan itu.

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis
4 Pengikut

Agama, Bola, dan Problem Sosial Generasi Z
5 jam lalu
Di Bawah Hujan Sore Hari
4 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler